Kesenian Bundengan Barnawi Ngabean Kalikajar

12/04/2011 21:27

Kesenian Bundengan

Magnet Penggembala Bebek

 

BULAN hampir bulat di Lengkong Cilik Semarang. Ketika terdengar suara seperti kendang dari panggung rendah itu, beberapa orang menjadi sibuk mencari dan bertanya-tanya: di bagian mana sebenarnya alat tradisional sekaligus penabuhnya itu berada?

Panggung hanya memperlihatkan empat laki-laki duduk bersila, dan dua benda mirip engkrak (alat pengangkut sampah dari anyaman bambu) ukuran besar. Seorang nembang, seorang yang lain seperti menyelinap ke dalam engkrak hingga wajahnya hampir tak terlihat.

Gending Kebo Giro tinggal separo. Lalu penonton pun makin terkesima, ketika tahu sumber bunyi itu datang dari engkrak yang ternyata kowangan, caping besar yang biasa digunakan untuk berteduh bocah angon (penggembala) bebek.

Ya, magnet datang dari sana. Tak ada kendang, tak ada ketipung. Tapi dengarlah suara ''tung tak tung plak.. duuut...'' itu. Barnawi (47), orang yang seperti menyelinap tersebut, menoleh lalu tersenyum.

Memang, hampir tak ada yang mengira bahwa barang yang semula dianggap sekadar properti (perlengkapan panggung) itu bisa menghasilkan beragam bunyi yang memesona. Betapa tidak? Dari engkrak besar itu bisa terdengar tiga jenis bunyi kendang: ketipung, ciblon, dan bem (kendang besar dengan suara mirip bas bethot pada irama keroncong. Sementara kowangan, bukan alat musik tabuh, melainkan petik.

Kesenian Bundengan

Dalam pertunjukan, musik kowangan itulah yang kemudian disebut dengan kesenian bundengan. Sebuah perpaduan antara seni musik dan tari, karena bunyi kowangan selalu berdenting mengiringi penyanyi dan penari.

Pada awal kemunculannya, sekitar 1968, bundengan memang membawakan lagu-lagu yang biasa digunakan untuk mengiringi tari kuda kepang dan lengger, seperti Sumiyar, Kinayakan, Kebo Giro, Bribil, Cuthang atau Gones.

Dari sisi irama, bundengan memang kental dengan irama lagu dua jenis tari tradisional itu. Bisa jadi, karena Barnawi -penemu alat musik itu- sejak kecil akrab dengan kuda kepang dan lengger.

Hingga pada akhirnya, kowangan juga sangat indah ketika memainkan gending, lagu-lagu dangdut, campursari, dan bahkan kasidah. Dari ''Ilir-ilir'', ''Ngidamsari'', sampai ''Tamba Ati''.

Maka, pementasan di Laboratorium Seni dan Kebudayaan Lengkong Cilik, Selasa (20/8) malam lalu, itu sungguh elok. Di panggung, Barnawi memetik kowangan mengiringi dua orang lainnya yang menyanyikan ''Ngidamsari''. Seorang perempuan molek menari lengger.

Kekaguman itu agaknya memang harus tertuju pada Barnawi, warga Dusun Ngabean, Desa Maduretno, Kalikajar, Wonosobo. ''Musik ini lahir dari keisengan saya, saat menunggui bebek-bebek yang saya angon,'' katanya dalam bahasa Jawa.

Konon, di sela-sela angon itulah Barnawi membentangkan enam ijuk pada bagian dalam kowangan. Dia mulai memetik, mulai merasakan bunyi yang keluar dari benda itu.

''Karena bunyinya terlalu pelan, saya mengganti ijuk dengan senar raket dan guntingan ban dalam sepeda,'' katanya. Di luar itu, dia menambahkan tiga ingis (kulit bambu) yang dipasang tegak di bawah bentangan ban dalam. Ingis itulah yang mengeluarkan efek bunyi kendang.

Barnawi, meski hanya sekolah sampai kelas 1 SD, tak bisa baca tulis dan tak dapat berbahasa Indonesia dengan benar, tentu bukan orang yang kurang pengetahuan. Banyak orang -setidak-tidaknya sebagian dari mereka yang menyaksikan pertunjukannya di Lengkong Cilik- berharap, Barnawi tidak ''dibodohkan'' oleh orang-orang di sekitarnya.

Maka, agaknya perlu kembali dicatat bahwa penemu kesenian bundengan adalah Barnawi, bukan Diparbud Kabupaten Wonosobo seperti yang tertulis dalam setiap brosur. Rasanya, pembetulan itu amat penting. Lebih-lebih, jika kita bertekad menghargai setiap hak paten suatu karya inovasi.

( sumber : Suara Merdeka )